Program Belajar Kaidah Bahasa Arab 1 Bulan
Bismillah. Alhamdulillah pada kesempatan ini kita bisa berjumpa kembali dalam pelajaran jarak jauh dengan membahas ilmu kaidah bahasa arab. Pada bagian-bagian sebelumnya sudah kita bicarakan seputar kelompok isim yang harus dibaca manshub.
Sekarang kita akan melanjutkan pembahasan isim-isim manshub yang lain. Diantaranya adalah apabila isim tersebut menempati posisi sebagai maf’ul muthlaq. Maf’ul mufthlaq -disebut juga mashdar- merupakan isim manshub yang berfungsi untuk mempertegas perbuatan, menjelaskan bilangan/jumlahnya, atau sifat/jenis perbuatan itu.
Misalnya dalam kalimat ضربت ضرباً ‘dharabtu dharban’ artinya ‘aku telah memukul benar-benar memukul’. Maka kata ‘dharban’ adalah sebagai maf’ul muthlaq, ia berfungsi mempertegas perbuatan atau fi’il-nya yaitu kata ‘dharaba‘. Nah, kata ‘dharban’ ini dalam ilmu sharaf juga disebut dengan istilah mashdar/kata benda dari kata kerja. Ia berasal dari kata ‘dharaba-yadhribu-dharban’ artinya memukul. ‘dharaba‘ telah memukul, ‘yadhribu’ sedang memukul, dan ‘dharban’ artinya ‘pemukulan’. Apabila mashdar ini mempertegas fi’ilnya ia disebut sebagai maf’ul muthlaq. Dan ingat, bahwa maf’ul muthlaq harus dibaca manshub.
Contoh lain, ضربت رجلاً ضرباً شديداً ‘dharabtu rojulan dharban syadiidan’ artinya ‘aku telah memukul seorang lelaki dengan pukulan yang keras’. Di sini kata ‘dharban’ juga dibaca manshub karena berperan sebagai maf’ul muthlaq. Hanya saja ia menjelaskan sifat/jenis perbuatan atau fi’ilnya; yaitu pukulan yang keras, bukan dalam rangka mempertegas fi’ilnya. Intinya, maf’ul muthlaq harus dibaca manshub.
Contoh lagi dalam kalimat ضربت ضربةً ‘dharabtu dharbatan’ artinya ‘aku telah memukul sekali pukulan’. Kata ‘dharbatan’ ini juga dibaca manshub sebagai maf’ul muthlaq. Di sini ia menerangkan jumlah atau bilangan perbuatan itu; yaitu satu kali pukulan. Biasanya untuk membuat maf’ul muthlaq semacam ini cukup dengan mengikuti rumus/pola fa’latan, misalnya ‘dharbatan’ -sekali pukulan- atau ‘jalsatan’ -sekali duduk- atau ‘aklatan’ -sekali makan-, dst.
Kelompok isim yang harus dibaca manshub selanjutnya adalah haal (keadaan). Isim yang menerangkan keadaan pelaku atau objek ketika terjadinya perbuatan disebut sebagai haal, dan haal ini harus dibaca manshub. Misalnya dalam kalimat جاء زيد راكباً ‘jaa’a zaidun raakiban’ artinya ‘telah datang zaid dalam keadaan berkendaraan’. Perhatikan kata ‘raakiban’; artinya ‘berkendaraan’. Di sini ia dibaca manshub sebagai haal; yaitu menerangkan keadaan si pelaku ‘zaid’ ketika terjadinya perbuatan; yaitu ‘datang’. Ketika dia datang dia sambil naik kendaraan. Ingat bahwa haal harus dibaca manshub, sehingga dalam kalimat ini tidak boleh dibaca ‘raakibun’ atau ‘raakibin’.
Suatu isim -apakah itu pelaku atau objek- yang diterangkan keadaannya ini disebut dengan istilah shohibul haal/pemilik keadaan. Di dalam kaidah bahasa arab haal harus berupa isim nakiroh; bertanwin, masih umum/belum tertentu. Adapun shohibul haal harus berupa isim ma’rifah; sudah tertentu, biasanya diawali dengan alif lam atau berupa nama orang. Di dalam contoh di atas maka kata ‘zaid’ adalah shohibul haal; dan dia ma’rifah/sudah tertentu. Kemudian kata ‘raakiban’ di situ juga berupa isim nakiroh; karena ia masih umum dan tidak diberi alif lam di awalnya. Intinya apabila suatu isim menjadi haal ia harus dibaca manshub.
Demikian pembahasan singkat yang bisa kami sajikan untuk pelajaran kaidah bahasa arab. Semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam belajar, beramal dan menyebarkan ilmu kepada saudara-saudara kita kaum muslimin di mana pun berada. Wallahul muwaffiq.
Untuk mengunduh materi buka di sini : belajar-13
Unduh rekaman dari sini [klik]